Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia dengan lebih
dari 17.500 pulau besar dan kecil yang tersebar sepanjang 4.800 km antara benua
Asia dan benua Australia. Karena itu Indonesia memiliki keanekaragaman seni dan
budaya yang terbesar dibandingkan dengan bagian manapun juga didunia ini.
Karena letak geografis ini jugalah maka Indonesia mempunyai lebih dari 300 suku
dan sekitar 365 bahasa.
Dalam perjalanan jaman, setiap suku di Indonesia mempunyai ciri khas
dalam busana daerah mereka yang tentunya dilengkapi dengan kain-kain yang khas
dan menjadi warisan budaya yang sangat memukau.
Kain Tenun yang dibuat dengan teknik ikat lungsi berkembang
dan menjadi ciri khas penduduk di daerah Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi
dan juga di beberapa daerah di Sumatera; Kain Songket berkembang di sebagian
besar wilayah Sumatera; Kain Batik yang tidak hanya dihasilkan di pulau Jawa,
telah melekat menjadi jati diri orang Jawa; seni teknik Sulam dan Bordir yang
banyak dipakai di Sumatera Barat akhirnya meluas hingga ke berbagai wilayah di
Indonesia, keterangan diatas hanya untuk sekedar menyebutkan khazanah kain
tradisional yang ada dan masih berkembang dengan baik di Indonesia hingga saat
kini.
Dalam
banyak catatan lama tertulis bahwa kain tradisional Indonesia mempunyai nilai
budaya tinggi, terutama dari sudut estetis, bermakna simbolis dan memiliki
falsafah yang mendasari pembuatannya. Jika kita menelaah sejarah kain
tenun Indonesia, terutama teknik tenun ikat Iungsi maka kita bisa melihat bahwa
apa yang terjadi di Indonesia termasuk menarik karena ternyata teknik ini telah
dikenal disini sejak jaman Prasejarah. Di daerah pedalaman Kalimantan,
Sulawesi, Sumatera dan Nusa Tenggara Timur, sejak lama penduduk mengenal corak
tenun ikat yang rumit, semua itu dihasilkan dengan membuat alat tenun sendiri,
mencari pohon untuk diambil serat nya dan mencelup dengan bahan pewarna alam
yang diambil dari hutan disekitar mereka bermukim. Diperkirakan keakhlian ini
telah dimiliki oleh masyarakat yang hidup pada masa perundagian atau perunggu
mulai abad ke-8 sampai abad ke-2 SM.
Keragaman dan keunikan ragam hias kain tenun tercermin dengan jelas
pada unsur yang terkait dengan pemujaan pada leluhur dan kebesaran alam. Setiap
daerah memiliki ciri khas pada ragam hiasnya yang terkait dengan fungsi sosial
budaya daerah tersebut. Dalam setiap kegiatan ritual keluarga atau agama,
sepotong kain tenun hampir selalu menjadi bagian yang amat penting.
Cikal bakal kehadiran
kain songket di negeri ini
sebenarnya tidaklah kalah menarik. Para akhli sejarah menyatakan bahwa seni
kerajinan tenun songket (gabungan antara seni tenun berbahan sutera atau benang
kapas dan penambahan ragam hias dengan teknik cucuk yang mempergunakan benang
emas atau perak) berkembang bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Sriwijaya mulai
sekitar abad kell. Ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang dikenal makmur sekali
karena memiliki kekayaan logam mulia seperti emas dan perak, juga merupakan
bandar rempah-rempah seperti lada dan pala. Selama waktu cukup lama kerajaan
yang sangat strategis secara geografis ini menjadi lokasi persinggahan para
pedagang dari Tiongkok, India dan Arab dan ini jelas sangat menguntungkan
karena terjadi pertukaran barang dagangan seperti rempah¬rempah dan emas untuk
mendapatkan apa yang tidak mereka hasilkan antara lain benang sutera.
Belakangan tidak hanya di Palembang saja teknik songket berkembang tetapi ke
wilayah-wilayah lain di Sumatera seperti ke Minangkabau dan Lampung.
Berdasarkan warna dan ragam hiasnya, dahulu kita bisa membedakan
status sosial si pemakai. Kain songket dengan warna hijau tua , merah tua dan
kuning tua biasanya dipakai seseorang janda dan bila sudah slap untuk menikah
kembali maka si janda akan memakai warna yang lebih cerah. Pada ujung songket
yang disebut “Jando Berias” dan
songket “Jando Pengantin”
ditenun ragam hias bunga-bunga kecil yang kerap dipanggil bunga betabur,
sedangkan ditengahnya berwarna hijau atau ungu polos. Karena Palembang seperti
yang diceritakan diatas banyak didatangi saudagar-saudagar bangsa asing maka
dengan sendirinya banyak menyerap ragam hias dari wastra yang dibawa oleh
mereka. Karena itu didalam songket Palembang banyak ditenun ragam hias dengan
nama yang menunjukkan asal nya seperti “Bungo
Cino” dan “Bungo Pacik“.
Sejarah kain batik di
Indonesia berbeda kisahnya. Beberapa bukti menunjukkan bahwa teknik
batik itu memang universal, bahkan sudah dipakai sebagai media hias pada seni
kerajinan tembikar pada masyarakat Peru Kuno di Amerika Selatan. Namun dipulau
Jawalah teknik ini mencapai puncak keindahan pada permulaan abad ke-19 dengan
mulai didapatkan bahan tenun kapas halus yang diimport dari Inggris dan Negeri
Belanda. Bagi masyarakat Jawa, sepotong batik tidak hanya selembar kain untuk
busana tetapi dipakai dalam beberapa tingkat kehidupan mulai seorang bayi lahir
sampai saat dia meninggalkan dunia ini, juga dalam seni tari, seni drama dan
busana untuk anggota keluarga raja.
Kita tidak tahu sejak kapan tradisi membatik itu masuk ke pulau
Jawa, bahkan kata batik tidak diketemukan dalam bahasa Jawa Kuno. Namun
sejumlah pakar berpendapat bahwa kata batik berasal dari bahasa Melayu Kuno
yakni dari kata “tik” yang berarti tetes atau menetes.
Dibanding dengan jenis kain tradisional lain, batik yang paling
banyak mendapat pengaruh budaya dari Tiongkok terutama pada pola ragam hiasnya.
Corak ragam hias gaya Cina seperti naga, burung hong, kepeng emas, kupu-kupu,
kelelawar, bunga peoni atau rumpun bambu banyak digemari. Kebanyakan ini
dipakai pada batik pesisiran yaitu batik yang dibuat didaerah sepanjang pantai
utara pulau Jawa. Banyak sekali keturunan Cina yang terlibat dalam industri ini
dan menjadi pengusaha Batik yang terkenal.
Dari berbagai kain Nusantara tidak bisa dipungkiri bahwa batik
sebagai teknik untuk membuat ragam hias yang paling banyak memberi keleluasaan
dan kecepatan dalam berproduksi dibandingkan dengan teknik ikat umpamanya.
Karena itu sampai sekarang batik terus mengalami penambahan dan pengembangan
ragam hias yang disesuaikan dengan selera masa kini.
Pada akhirnya kita haruslah mensyukuri bahwa sampai sekarang segala
jenis kain yang dibuat dengan bermacam-macam teknik relative masih banyak
dipakai oleh segala lapisan masyarakat, sebagai contoh; dalam upacara ritual
pernikahan, pada acara menghadiri upacara Wisuda, kemeja resmi untuk pria,
busana nasional bagi wanita dan juga sarung yang dipakai kemesjid dan tren
terakhir adalah memakai bawahan atau atasan terbuat dari bahan tradisional
serta keharusan memakai seragam resmi di beberapa institusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar